top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
  • Writer's pictureWidya Wisata

Letter to my biological mother

The Hague, June 2020


Dear Mom,


When I close my eyes, I remember... I remember you taking care of me with great warmth. I remember the Kraton and kneeling for the sultan. I remember travelling and making a boat trip from or to the Lampung. I remember watching TV for the first time on the boat, which was a magical experience for me. I remember scenes of our life in the Lampung, and a house surrounded by pineapple fields in which the razor-sharp leaves often made small cuts to my feet. I remember a woman who swing both her arms to front and back and clapped her hands as part of her daily exercise. I remember you feeding me rice with vegetables, and sometimes we celebrated our meals with a little meat.

But I also remember our bad days... I remember being in prison together, sleeping under bridges and on the streets of Jakarta. You got upset when I lost one of my flip-flops, since they were the only pair I had. I was aware that you had a hard time making a living, but you gave it your all. Sometimes you left me with a nanny. But I always knew you would come and pick me up at the end of the day. Until that certain day... That day you brought me to a small train station and told me to go with this Chinese lady. I obeyed as a good daughter should do. When you did not say goodbye, I thought it would be a temporary thing for a couple of days and you soon would come to pick me up, like you always did. I waited and waited, but you never came... While staying at the house of the Chinese lady I cried many tears, since I missed you so much. After days of crying and getting punished for it, I was not able to shed another tear. Three weeks later, I found myself adopted by Dutch parents who took me, sick with typhoid, to a hospital in the Netherlands, where my Dutch life began. Here I was in a strange country, where I did not understand the language and was appointed to brand new parents. But even here, I waited years for you to come and get me. But as the years passed by, my hope diminished until there was nothing left. Luckily, I survived and have been fortunate that my adoptive parents have given me their unconditional love. But still, I have never forgotten you, my dearest mother. Your warmth and care will never be erased from my memory. After so many years I finally found the courage to start this search for you, since I have been wondering all those years how you have been and I would like to know how life has treated you…



Surat untuk ibu kandungku


Den Haag, Juni 2020


Ibu tersayang,


Ketika aku menutup mata, aku ingat… Aku ingat engkau merawatku dengan kehangatan yang luar biasa. Aku ingat Kraton dan berlutut untuk Sultan. Aku ingat bepergian dengan kapal ke atau dari Lampung. Aku ingat menonton TV untuk pertama kalinya di atas kapal, yaitu pengalaman yang ajaib bagiku. Aku ingat kepingan kehidupan kita di Lampung, dan rumah yang dikelilingi ladang nanas – yang daunnya yang tajam sering melukai kakiku. Aku ingat seorang perempuan yang mengayunkan kedua tangannya ke depan dan belakang dan bertepuk tangan sebagai bagian dari olahraga hariannya. Aku ingat engkau memberiku makan nasi dengan sayuran, dan kadang kita merayakan makanan kita dengan sedikit daging. Tapi aku juga ingat hari-hari buruk kita… Aku ingat di penjara bersamamu, tidur di bawah jembatan dan di jalanan Jakarta. Aku ingat engkau marah saat aku kehilangan salah satu sendalku, padahal itu satu-satunya alas kaki yang aku punya. Aku tau engkau kesulitan mencari uang, tapi kamu tidak pernah menyerah. Kadang kamu menitipkanku dengan seorang pengasuh. Aku tau kamu akan selalu menjemputku. Sampai hari itu… Hari itu kamu membawaku ke stasiun kereta kecil, dan menyuruhku pergi dengan seorang perempuan Tionghoa. Sebagai anak yang baik aku mengikuti perintahmu. Engkau tidak mengucapkan selamat tinggal, jadi aku pikir itu hanya sementara dan engkau akan menjemputku. Seperti yang selalu engkau lakukan. Aku terus menunggu dan menunggu, tetapi engkau tidak kunjung datang… Saat tinggal di rumah perempuan Tionghoa itu, aku terus menangis karena aku merindukanmu. Setelah berhari-hari menangis dan dihukum karenanya, aku tidak menangis lagi. Tiga minggu kemudian, aku diadopsi oleh orang tua dari Belanda. Setibanya di Belanda, aku sakit tipes dan dirawat di rumah sakit. Inilah awal kehidupanku di Belanda. Aku berada di tempat yang asing. Aku tidak mengerti bahasanya dan berada dengan orang tua baru. Di sini, aku tetap terus menunggumu untuk datang dan menjemputku. Tahun berganti, harapanku pupus. Aku beruntung diadopsi oleh orang tua yang memberikanku kasih sayang yang luar biasa. Tapi, aku tidak pernah melupakanmu, ibuku tersayang. Kehangatan dan kasihmu tidak akan pernah hilang dari ingatanku. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku memberanikan diri untuk memulai pencarian dirimu. Karena selama ini aku bertanya-tanya, apa kabarmu dan bagaimana hidup ini telah memperlakukanmu…



Widyastuti

10 views0 comments

Recent Posts

See All

Copyright © 2021 The Adopted One - Experiences of an Adopted Child, All  Rights Reserved

bottom of page